mencari cara dan cari tahu
Setiap orang pasti tak ingin mengalami gangguan jiwa.
Namun, keadaan terkadang tak mampu membuat orang terhindar dari kondisi
gangguan kejiwaan.
Tingkat stres yang berlebihan karena suatu sebab yang
sangat mengganggu fisik dan psikis merupakan faktor utama yang dapat
menyebabkan seseorang kemudian terkena gangguan jiwa.
Gangguan jiwa merupakan kondisi adanya gejala klinis berupa
sindroma pola perilaku dan pola psikologik yang sangat berkaitan dengan adanya
rasa tidak nyaman, rasa nyeri, dan tidak tenteram. Berikut ini merupakan
beberapa macam gangguan jiwa pada manusia.
Gamomania
Gamomania atau obsesi untuk mengajukan pernikahan. Gangguan
jiwa jenis ini memang cukup aneh (mungkin Anda juga belum pernah menjumpai atau
mendengar gangguan jiwa jenis ini) dimana seseorang yang dikatakan mengalami
Gamomania ini biasanya memiliki obsesi mengajukan atau mengajak menikah kepada
orang-orang yang berbeda dalam waktu yang sama. Dalam banyak kasus, Gamomania
ini dapat memicu terjadinya poligami.
Climomania
Orang yang mengalami Climomania ini akan cenderung memiliki
keinginan untuk berlama-lama di atas kasur terlebih kalau sedang musim dingin.
Penderita Climomania ini mempunyai keinginan atau obsesi untuk selalu ada di
atas kasur dalam jangka waktu lama, bahkan bisa sampai seharian. Climomania
berasal dari bahasa Yunani yang memiliki arti “obsesi tidur”. Apakah Anda
termasuk ke dalam Climomania?
Onomatomania
Onomatomania tak kalah menggelikannya dibandingkan gangguan
jiwa jenis lainnya. Pada penderita Onomatomania ini ia memiliki obsesi untuk
mengulang kata-kata khusus karena dianggap menggangu pikirannya.
Enosimania
Enosimania ini mungkin dalam beberapa hal bisa positif
karena akan menimbulkan sikap kehati-hatian, perfect, dan lainnya. Namun kalau
berlebihan maka akan membuat diri menjadi tidak nyaman.
Enosimania ialah keadaan dimana seseorang takut melakukan
kesalahan besar, takut mendapatkan kritikan, dan lain-lain. Gejala yang
biasanya terjadi pada orang yang mengalami Enosimania meliputi detak jantung
yang tidak menentu, timbul rasa muak, berkeringat, napas menjadi pendek dan
cepat.
Demonomania
Demonomania ini sangat erat kaitannya dengan eksistensi
makhluk atau alam gaib. Orang yang menderita gangguan kejiwaan jenis ini selalu
memiliki perasaan ketakutan yang berlebihan, bahkan ketakutan dirasuki oleh roh
jahat dari alam gaib ke dalam tubuhnya. Orang yang mengalami Demonomania ini
akan semakin parah setelah ia melihat film-film horor, membaca buku horor atau
mendengarakan cerita horor.
Aboulomania
Coba diingat-ingat apakah Anda termasuk orang yang selalu
mengalami kesulitan ketika hendak mengambil keputusan terkait suatu hal? Kalau
iya, kemungkinan Anda mengidap Aboulomania yang merupakan kondisi dimana
seseorang selalu merasa kesulitan ketika hendak mengambil suatu keputusan,
bahkan untuk hal yang sederhana sekalipun.
Ablutomania
Ablutomania mungkin bisa disebut positif dalam konteks
untuk menjaga kebersihan tubuh dari terkontaminasi oleh kuman. Namun akan
mengganggu kalau ketakutan terhadap kotor atau kuman datang dalam skala per
detik yang berdampak pada keinginan untuk membersihkan tubuh, minimal tangan
secara intens, bahkan keseringan. Ablutomania merupakan kondisi untuk selalu
membersihkan tubuh.
Maniak kategori ini juga cukup aneh dan menggelikan.
Trichotillomania merupakan kelainan gerakan refleks dalam bentuk penyiksaan
diri seperti menarik atau menjambak rambut, bulu mata, alis, dan lainnya.
Beberapa gangguan jiwa di atas berpotensi untuk dialami
oleh siapapun baik dalam konteks gangguan jiwa ringan, sedang atau berat.
Berhati-hatilah dan segera periksakan diri kepada dokter spesialis kejiwaan
untuk mendapatkan penanganan dan pengobatan yang tepat sehingga gangguan jiwa
yang dialami Anda atau orang-orang terdekat bisa segera disembuhkan
Allah ta’ala mengilhamkan pada jiwa manusia karakteristik
berupa kemampuan untuk mengetahui kebaikan dan keburukan, serta kesiapan untuk
melaksanakan keduanya, sebagaimana firman-Nya dalam surat asy syams ayat 7-8
dan surat al insaan ayat 3,
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا . فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
“Dan demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Kami ilhamkan
kepadanya jalan kefasikan dan takwa.”
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
“Sungguh telah Kami tunjukkan jalan yang lurus, ada yang
bersyukur dan ada pula yang kufur”
Menurut al Fairuz Abadi[1] jiwa manusia itu memiliki sifat-sifat
sebagai berikut; jiwa itu memiliki kecenderungan kepada sesuatu yang
diinginkannya, menghendaki sesuatu yang disukainya, kecintaannya terhadap
sesuatu itu akan dapat menjadikan sesuatu itu keutamaan dalam hidupnya dan jika
ia menikmati sesuatu yang disukainya itu lambat laun kesenangannya itu akan
menguasai isi hatinya.
Sehingga jiwa manusia ini akan selalu tunduk dan patuh
kepada Allah serta menyenangi kebaikan hingga kebaikan itu akan menguasai
segenap isi hatinya jika mendapat bimbingan yang dilakukan dengan
sungguh-sungguh.
Begitu pula sebaliknya bila ia dibiarkan tanpa pengendalian
maka ia akan mengendalikan manusia mengikuti gejolak jiwa yang rendah yang
mengajak kepada kemaksiatan hingga kemaksiatan itu pada puncaknya akan
menguasai pula hatinya.
Secara garis besar dari berbagai ayat yang terdapat di al
Qur’an dapat disimpulkan bahwa kondisi jiwa manusia terdiri dari tiga jenis,
yaitu jiwa yang mengajak berbuat buruk (nafsu ammarah bi suu’), jiwa yang
menyesali diri (nafsu lawwamah) dan jiwa yang tenang (nafsu muthmainnah).
Jiwa yang Mengajak Berbuat Keburukan
Al Jurzani[2] memaknai jiwa semacam ini sebagai berikut,
هي التي تميل إلى الطبيعة البدنية، وتأمر باللذات والشهوات الحسية،
وتجذب القلب إلى الجهة السفلية، فهي مأوى الشرور، ومنبع الأخلاق الذميمة
Sesuatu yang cenderung kepada pembawaan tubuh, mengajak
menikmati kelezatan dan selera inderawi serta menarik hati kearah kenistaan.
Itulah tempat bagi berbagai kejahatan dan mata air segala perilaku tercela.
Allah ta’ala berfirman dalam surat Yusuf ayat 53,
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ
إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan aku tidak mampu membebaskan jiwaku (dari kesalahan),
sungguh jiwa itu menyuruh berbuat keburukan, kecuali jiwa yang dirahmati
Tuhanku, sungguh Tuhanku Mahapengampun dan Mahapengasih.
Jiwa yang mengajak berbuat keburukan ini juga dijelaskan
oleh Ibnu Katsir[3] dalam tafsirnya tentang perkataan istri al Aziiz yang
menggoda nabi Yusuf as, “وَلَسْتُ أُبَرِّئُ نَفْسِي، فَإِنَّ النَّفْسَ تَتَحَدَّثُ
وَتَتَمَنَّى؛ وَلِهَذَا رَاوَدَتْهُ لِأَنَّهَا أَمَارَةٌ بِالسُّوءِ”, Aku tidak
membebaskan diriku dari kesalahan, sebab hawa nafsu diriku selalu membisikkan
godaan dan angan-angan kepadaku. Karena itulah aku menggoda Yusuf dikarenakan
jiwaku yang mengajak berbuat keburukan.
Jiwa yang memerintahkan perbuatan buruk ini adalah jiwa
yang menipu akal dan menghilangkan rasa malu manusia, ia menjadikan sesuatu
yang buruk menjadi indah dan baik. Sifat jiwa yang demikian akhirnya menjadi
kesempatan bagi Iblis untuk membisikkan kejahatan, menyesatkan, menggelincirkan
dan menjerumuskan manusia kepada kemaksiatan.
Ibnul Qayyim al Jauziyyah[4] menjelaskan bisikan setan ini
pada jiwa yang lemah sebagai berikut, “وَأما النَّفس الأمارة فَجعل الشَّيْطَان قرينها
وصاحبها الَّذِي يَليهَا فَهُوَ يعدها ويمنيها ويقذف فِيهَا الْبَاطِل ويأمرها بالسوء”
adapun jiwa yang memerintahkan berbuat keburukan, maka syetan akan menjadi
pendamping dan sahabatnya yang memberi janji-janji, angan-angan kosong kemudian
menyusupkan kebatilah pada hati manusia serta memerintahkan berbuat keburukan.
Manusia yang tertipu adalah mereka yang berjalan dibelakang
kehendak jiwanya (nafsunya) tanpa pengendalian akal dan syari’at serta tidak
memperhitungkan dampak perbuatannya.
Menjadikan hawa nafsunya sebagai panglima adalah kesesatan. Allah ta’ala
berfirman dalam surat al Qashash ayat 50,
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ
اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang
mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.”
Jiwa yang mengajak pada keburukan ini harus diperangi
dengan sungguh-sungguh agar terbebas dari belenggu keindahan kenikmatan maksiat
yang bersifat fana dan menipu. Mengajari dan melatih jiwa untuk memikul beban
dan kesulitan seperti merutinkan shalat malam, puasa sunnah, shadaqah dan
sebagainya.
Dari ‘Abdullah bin Umar, Rasulullah saw bersabda,
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا
جِئْتُ بِهِ
“Tiadalah (sempurna) keimanan seorang Mukmin sehingga
menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa”[5]
Jiwa yang Menyesali Diri
Jiwa yang menyesali diri adalah jiwa yang senantiasa
mengingatkan pemiliknya dari perbuatan maksiat dan mengajak pemiliknya segera
bertaubat ketika bermaksiat. Jiwa semacam ini dapat meningkat hingga
mengembalikannya kepada kondisi fitrahnya yang bersih.
Allah ta’ala berfirman dalam surat al qiyamah ayat 2,
وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
“Aku bersumpah dengan jiwa yang menyesali (dirinya
sendiri)”
Ibnu Katsir[6] mengungkapkan perkataan al Hasan dalam
tafsirnya tentang jiwa orang beriman, “إِنَّ الْمُؤْمِنَ -وَاللَّهِ-مَا نَرَاهُ
إِلَّا يَلُومُ نَفْسَهُ: مَا أَرَدْتُ بِكَلِمَتِي؟ مَا أَرَدْتُ بِأَكْلَتِي؟ مَا
أَرَدْتُ بِحَدِيثِ نَفْسِي؟ وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَمْضِي قُدُما مَا يُعَاتِبُ نَفْسَهُ”
Sesungguhnya orang beriman itu, demi Allah
menurut penilaian kami amat sangat menyesali dirinya sendiri dan
mencelanya, Apa tujuanku dengan perkataanku, apa tujuanku dengan makananku, apa
tujuanku dengan bisikan jiwaku. Sedangkan para perdurhaka itu melaju terus
dalam kedurhakaannya tanpa pernah menyesali diri.
Al Qurthubi[7] mengutip perkataan Mujahid dalam tafsirnya
tentang jiwa yang menyesali diri, “هِيَ الَّتِي تَلُومُ عَلَى مَا فَاتَ وَتَنْدَمُ،
فَتَلُومُ نَفْسَهَا عَلَى الشَّرِّ لِمَ فَعَلَتْهُ، وَعَلَى الْخَيْرِ لِمَ لَا تَسْتَكْثِرُ
مِنْهُ” ia adalah jiwa yang mengecam segala sesuatu yang lepas terlewat dan
menyesalinya, ia mengecam dirinya atas keburukan yang dilakukannya, ia mengecam
dirinya pula ketika berbuat kebaikan dengan perasaan kurang sempurna dan kurang
optimal.
Al Jurzani[8] berkata “هي التي تنورت بنور القلب قدر ما تنبهت
به عن سنة الغفلة، كلما صدرت عنها سيئة، بحكم جبلتها الظلمانية، أخذت تلوم نفسها وتتوب
عنها”Jiwa ini bersinar dengan cahaya hati, yang menyadarkan dari kelalaian.
Setiap kali ia mengerjakan keburukan dan terjerumus dalam kegelapan, ia akan
menyesali diri dan bertaubat atasnya.
Jiwa yang menyesali diri adalah kondisi jiwa pada level
berikutnya, setidaknya inilah kondisi jiwa yang harus dimiliki oleh orang
beriman, manakala ia lalai maka jiwanya mengingatkan atas kelalaiannya.
Setiap mukmin wajib mewaspadai ketika jiwanya merasa nyaman
akan kemaksiatan, tidak tergerak jiwanya untuk membenci kemungkaran, sementara
membenci kemungkaran dengan hati adalah selemah-lemah iman.
Jiwa yang Tenang
Ini adalah tingkatan jiwa yang tertinggi, jiwa yang tenang
dengan keta’atan kepada Allah, tenang dengan janji-janji Allah. Merasakan
nikmat dalam beribadah kepada Allah. Allah memenuhi segenap jiwanya, Allah
selalu ada dalam segala aktivitasnya. Jika Allah memberinya kenikmatan maka ia
bersyukur dan bertambah keta’atannya. Jika Allah mengujinya dengan musibah maka
ia bersabar dan bertambah kedekatannya kepada Allah, dan ia kembalikan segala
urusannya kepada Allah.
Jiwa semacam ini tak mengenal kecewa dalam kebaikan, tak
mengenal gentar dalam ujian. Ia memahami betul hakikat kehidupan, dunia itu
fana dan sementara, akhiratlah tujuan utama. Jiwa ini tenang karena surga
adalah terminal akhir yang akan diraihnnya. Allah ta’ala berfirman dalam surat
al Fajr ayat 27-30,
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (27) ارْجِعِي إِلَى
رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً (28) فَادْخُلِي فِي عِبَادِي (29) وَادْخُلِي جَنَّتِي
(30)
“Wahai jiwa yang
tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai-Nya, maka masuklah
ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku”
Al Jurzani[9] menjelaskan bahwa jiwa yang tenang adalah “هي
التي تم تنورها بنور القلب حتى انخلعت عن صفاتها الذميمة، وتخلقت بالأخلاق الحميدة”
jiwa yang sempurna cahayanya dengan cahaya hati hingga terlepas dari
sifat-sifat buruk, dan terbingkai deng akhlaq yang terpuji.
Keberhasilan yang besar dari tazkiyatun nafs adalah jiwa
yang tenang, tenang dalam beribadah, tenang dalam perjuangan dan
pengorbanannya, tenang karena Allah menjadi poros segala amalnya, hati, ucapan
dan tindakan.
Allah ta’ala berfirman dalam surat ar ra’du ayat 28
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hatinya menjadi
tenteram dengan mengingat Allah, Ingatlah hanya dengan mengingat Allahlah hati
menjadi tenang.”
Hasbunallah wa ni’mal wakil
[1] Lihat al Fairuuz Abadi : Bashairu Dzawi at Tamyiz fi
Lathaif al Kitab al Aziz, Qahirah : Lajnah Ihya at Turats al ‘Araby, 1412 H,
Jilid 5, hlm 359.
[2] Asy Syariif Al Jurzani: Kitab at Ta’rifat, Beirut: Daar
al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1403 H, hlm 243.
[3] Ibnu Katsir: Tafsir al Qur’an al Adzhim, Daar Thayyibah
li nushr wa at tauzi’, 1420 H, Jilid 4, hlm 394.
[4] Ibnul Qayyim al Jauziyah : Ar Ruuh fil kalami ala arwah
al amwati wal ahyai bid dalaili min al kitab wa sunnah , Beirut: Daar al Kutub
al ‘Ilmiyyah, tt, hlm 227.
[5] Ibnu Abi Ashim : Kitab as Sunah wa Ma’ahu Dzilal al
Jannah fi Takhrij as Sunnah. Al Maktab al Islamy, Jilid 1, hlm 12. Menurut
Muhammad Nashirudin al Albani hadits ini dhaif.
[6] Tafsir al Qur’an al Adzhim, jilid 8, hlm 275.
[7] Syamsuddin al Qurthubi: al Jami’ li Ahkam al Qur’an.
Qahirah: Daar al Kutub al Mishriyah, 1384 H, Jilid 19, hlm 193.
[8] At Ta’rifat, hlm 243.
[9] idem.