fenomena warung kopi
yang bayak bermunculan menjadi sebuah wahana sejarah baru yang akan selalu
direkonstruksi, tidak hanya tingkat orientasi transaksionistisnya, pola estetis
dan gaya yang khas, tetapi kini fungsinya semakin mendapatkan legitimasi di
hati publik. Selain terjangkau harganya, nilai estetis warung kopi juga menjadi
hiburan yang tak tergantikan dari kehidupan masyarakat. Baik di daerah Aceh,
Yogyakarta, Gorontalo bahkan di Tulungagung yang terkenal dengan kopi
Ijonya.
Bentuk center of
community yang terkandung dalam fenomena ini, secara disadari ataupun tidak,
warung kopi menjadi tanda yang mengukuhkan identitas baru masyarakat, melalui
bertemunya beragam orang, lembaga, status sosial dan bahkan identitas yang
multikultur. Dalam pandangan yang lebih luas, warung kopi juga bagian dari
subkultur yang mempertemukan berbagai budaya dan identitas baru. Tetapi ngopi juga bukan sekadar soal
keakraban, didalamnya kerap terjadi pertukaran informasi dan wacana,
pengembangan wawasan, Sering terjadi kesepakatan kerjasama mulai dari janji
lanjutan hingga tanda tangan kontrak.
Warkop: sebuah Life
Style?
Pada era sekarang ini
ngopi tidak lagi merupakan aktivitas mengisi waktu luang atau sekedar
menghilangkan kepenatan. Namun perkembangannya ngopi menjadi sebuah gaya hidup. Komunitas
lifestyle ini telah melahirkan sebuah subkultur baru, komunitas warung kopi.
Tetapi dalam beberapa hal, warung kopi juga didirikan dengan latar belakang
komunitas. Lebih jauh lagi, komunitas warung kopi ini, membentuk kultur dan
aktualisasi komunitas dalam berbagai sektor kehidupan, misalnya ekonomi dan
sosial.
Bagi sebagian pecinta
kopi, menikmati secangkir kopi mungkin hal yang biasa dilakukan di waktu
senggang dan bisa dilakukan dimanapun. Namun bagi kalangan tertentu menikmati
kopi bukan hanya bagaimana merasakan sensasi manis dan pahit, tetapi bagaimana
muatan yang menyertai aktifitas itulah yang akan berdampak lebih luas. Misalnya
para eksekutif muda akan menikmati secangkir kopi dengan menjalankan aktifitas
dengan relasi bisnisnya. Begitu juga dengan mahasiswa, menikmati secangkir kopi
hanya bermakna jika dilakukan di warung kopi yang diselingi dengan diskusi
kecil.
Penikmat kopi juga
beragam, mulai dari pemulung hingga para pejabat teras. Tidak ada sekat dalam
hal siapa peminat kopi. Ini membuktikan bahwa warung kopi mempunyai potensi
kultural yang dapat menggiring masyarakat ke arah pembauraan sosial. Ini tidak
lepas dari salah satu manfaat warung kopi yaitu sebagai tempat menemukan ide
dan gagasan. Bahkan, bagi para penikmat kopi, warung kopi adalah sumber
informasi dan inspirasi.
Bagi pecinta kopi,
menikmati kopi dengan racikan sendiri di rumah atau di tempat kerja akan terasa
berbeda ketika mereka menikmati kopi di warung kopi. Entah karena racikannya
atau suasananya, kita tidak tau. Tetapi kemungkinan, faktor fenomena ini adalah
bagaimana situasi dan kondisi dalam menikmati kopi mempengaruhi rasa dalam
ngopi itu sendiri. Dan yang aneh lagi adalah masing-masing warung kopi memiliki
kekhasan rasa tersendiri yang tidak bisa ditemukan di tempat lain.
Berangkat dari
realitas itulah, kebiasaan Ngopi bagi masyarakat Indonesia bukanlah menjadi
sebuah realitas yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Akan tetapi, lebih dari
itu ngopi menjadi sebuah life style masyarakat. Kebiasaan masyarakat yang
seiring waktu telah berubah menjadi kebutuhan masyarakat inilah yang nantinya
bisa menjadi sebuah subkultur tersendiri di masyarakat Indonesia.
Warung Kopi dan
Revitalisasi budaya Komunal
Ngobrol apa kita hari
ini? Topik apa yang kita mau bicarakan? Tak ada yang tahu. Semua membisu.
Semua tenggelam dalam pikirannya masing-masing, dengan topiknya
sendiri-sendiri. Betapa dunia begitu merepotkan. Mengambil porsi waktu, tenaga,
pikiran, juga biaya tidak kecil,di tengah kebutuhan yang semakin menekan. Tapi,
semua tak bisa kita elakkan. Ia muncul sebagai paksaan yang tak tertolakkan.
Tak ada tempat lagi
untuk privasi, untuk masalah pribadi, untuk sharing antar dunia domestik. Kekerabatan
mengendur. Diri dan eksistensi ditentukan oleh hal di luar kita. Kita adalah
makhluk yang ada karena peristiwa-peristiwa yang kadang bukan kita. Bagaimana
ini bisa terjadi? Tentu saja, segera kita dapat mafhum, kenyataan itu menjadi
salah satu buah dari globalisasi, khususnya dalam kemampuan penetrasi isu via
teknologi komunikasi dan informasi. Pada awalnya, kekuatan dan potensi
teknologi mediatik itu menawarkan harapan yang menggiurkan, saat kita
beranggapan dunia kini ada dalam genggaman. Hingga pada akhirnya kita
menyadari, dunia ternyata tidak cukup digenggam dengan dua tangan, bahkan dua
pikiran, dua tubuh, atau dua perasaan. Dunia telah masuk begitu cepat dan kuat
dalam ruang pribadi kita.
Dalam satu hari,
bahkan dalam satu ketika (moment) kita hidup dalam ratusan persoalan yang
menyesaki pikiran dan hati. Tak sempat lagi untuk merenungkan atau
menghayatinya. Dalam situasi dan posisi seperti ini, sebenarnya manusia
senantiasa dalam keadaan yang gamang dan labil. Semua terasa kritis dan
emergensial. Inilah situasi kejiwaan yang tidak menyadari posisi dan dirinya
sendiri, mudah diinfiltrasi dan diintervensi di tingkat personal, komunal,
bahkan nasional.
Di Korea Selatan
terjadi sebuah depresi besar-besaran pada masyarakat digital. Ini berawal dari
sebuah gerakan massa di dunia maya yang memperjuangkan sesuatu. Begitu banyak
orang yang berharap pada gerakan massal dunia maya itu namun ketika ternyata
gerakan tersebut tidak menemui hasil yang memuaskan banyak penduduk dunia maya
Korea Selatan yang kemudian merasakan kekecewaan mendalam, depresi bahkan
beberapa di antaranya ada yang hingga bunuh diri. Sebuah kondisi yang
memprihatinkan.
Dalam konteks tertentu
saya melihat kalau faktor akar budayalah yang menyebabkan hal itu bisa terjadi.
Kondisi yang sama rasanya sulit terjadi di Indonesia, negeri dimana sifat
komunal masih jadi bagian utama dalam kehidupan keseharian. Orang Indonesia
boleh ramai di dunia maya, memperbincangkan apa saja, berbagi apa saja, tapi
tetap saja itu tidak cukup. Interaksi dunia maya harus dilengkapi dengan
sesuatu dimana terdapat sebuah ajang dimana interaksi sosial yang nyata bisa
dinikmati.
Inilah desa global
yang diutarakan Marshall McLuhan, kecenderungan yang pesat dari media cetak,
hingga media elektronik berkembang menyatukan budaya-budaya dunia. Tidak hanya
masyarakat berkomunal yang merasakan Spanyol menjadi juara dunia, tidak hanya
masyarakat indonesia yang terlena dengan irama chayya-chayya ala Briptu Norman.
Apakah masih ada nuansa komunal ke-Indonesia-an yang tersisa, ketika kita
menjadi bagian dari desa global.
Disinilah keunikan
yang masih tersisa ketika berbicara Indonesia, yang di beberapa daerah terdapat
warung kopi dan tradisinya. Masih ada semangat kekerabatan dan kekeluargaan
yang dapat menjadi filter dari kuatnya arus globalisasi. Seperti halnya
masyarakat lain di dunia, masyarakat Tulungagung juga mempertahankan sistem
kehidupan Guyub rukun.
Terkait dengan
revitalisasi budaya komunal, warung kopi dalam hemat penulis menjadi sebuah
wadah tersendiri di luar pranata-pranata social lainnya dimana dari warung kopi
itulah tercipta komunikasi yang masiv diantara masyarakat. Kemajuan teknologi
yang telah memangkas ruang dan waktu di sisi lain juga memangkas pula budaya
komunal di masyarakat. Oleh sebab itu. Keberadaan warung kopi seharusnya
menjadi sebuah posisi tersendiri guna melawan terjangan arus Globalisasi.
Warung Kopi dan Ruang
Publik
Istilah ruang publik (public space) pernah
dilontarkan Lynch dengan menyebutkan bahwa ruang publik adalah nodes dan landmark yang menjadi alat navigasi didalam
kota (Lynch, 1960). Gagasan tentang ruang publik kemudian berkembang secara
khusus seiring dengan munculnya kekuatan civil society. Dalam hal
ini filsuf Jerman, Jurgen Habermas, dipandang sebagai penggagas munculnya ide
ruang publik (Sulfikar, 2010). Jurgen Habermas memperkenalkan gagasan ruang
publik pertama kali melalui bukunya yang berjudul The
Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquire Into a Category of
Bourjuis Society yang
diterbitkan sekitar tahun 1989.
Ruang publik diartikan
sebagai ruang bagi diskusi kritis yang terbuka bagi semua orang. Pada ruang
publik ini, warga privat (private
person) berkumpul untuk membentuk sebuah publik dimana nalar publik
ini akan diarahkan untuk mengawasi kekuasaan pemerintah dan kekuasaan negara.
Ruang publik mengasumsikan adanya kebebasan berbicara dan berkumpul, pers
bebas, dan hak secara bebas berpartisipasi dalam perdebatan politik dan
pengambilan keputusan. Lebih lanjut, ruang publik dalam hal ini terdiri dari
media informasi seperti surat kabar dan jurnal. Disamping itu, juga termasuk
dalam ruang publik adalah tempat minum dan warung kopi, balai pertemuan, serta
ruang publik lain dimana diskusi sosio-politik berlangsung.
Ruang publik ditandai
oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis, dan bermakna. Responsif dalam arti
ruang publik adalah ruang yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan
kepentingan luas. Demokratis, artinya ruang publik dapat digunakan oleh
masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya serta
aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia. Bermakna memiliki arti kalau
ruang publik harus memiliki tautan antara manusia, ruang, dan dunia luas dengan
konteks sosial.
Pastinya, animo
pengunjung warung kopi tidak mutlak disebabkan oleh rasa dan aroma kopi yang
disajikan, tetapi lebih kepada keinginan untuk berinteraksi. Buktinya, sebagian
besar warung kopi yang ada di Aceh, Gorontalo, Yogyakarta bahkan di Tulungagung
hanya menyediakan minuman kopi berbahan baku kopi robusta. Padahal, bagi
para “penikmat”kopi sejati, mereka pasti akan
mencari warung kopi atau cafe yang menyediakan kopi arabica, karena aroma yang
tajam dan rasanya yang “nendang.”
Fenomena ini makin
mempertegas makna ngopi dalam tradisi masyarakat di Indonesia.
Aktivitas minum kopi adalah media interaksi antar masyarakat dari berbagai
stratifikasi sosial. Fungsi warung kopi mulai bergeser, dari tempat minum
menjadi ranah publik milik semua elemen masyarakat baik sebagai tempat melepas
lelah, tempat bercengkrama bahkan termasuk sebagai ruang hiburan. Secangkir
kopi menjadi semacam e-mail dan password untuk izin menikmati suasana dan
aktifitas orang di warung kopi itu.
Ibarat akun “jejaring
sosial” twitter,
warung kopi membolehkan siapapun mem-follow (bergabung) orang yang menjadi
idola dan narasumbernya. Siapapun, apalagi jika sudah kenal, boleh nimbrung mendengar
dan mengomentari pembicaraan si narasumber selama cangkirnya masih berisi kopi.
Siapapun tidak dilarang untuk membayar harga kopi orang yang di-follow atau
mem-follownya.
Warung kopi pada
akhirnya menjadi ruang publik multifungsi. Tempat minum kopi yang sejatinya
berfungsi sebagai rumah aspirasi. Berbagai rumor, fakta dan data bergulir dari
sana, bagai bola salju, menggelinding menjadi konsumsi publik. Di tempat ini
pula rumor, fakta dan data itu, pada akhirnya kembali dalam bentuk feedback
disertai komentar miring. Feedback berharga itu sangat memungkinkan diserap
menjadi bahan dasar untuk menyusun sebuah kebijakan publik.
No comments:
Post a Comment