mencari cara dan cari tah
Seringkali, kita sibuk untuk mengubah orang lain dan dunia
di sekitar kita, supaya sesuai dengan keinginan kita. Namun, kerap kali pula,
kita gagal. Lalu, kita pun kecewa, bersedih dan bahkan marah. Bagaimanapun
diusahakan, dunia di luar kita, termasuk orang-orang di sekitar kita, tidak akan
pernah sejalan dengan keinginan kita.
Inilah akar dari segala penderitaan di dunia, yakni ketika
kita memaksa dunia luar sejalan dengan keinginan kita, lalu gagal. Jika seperti
itu, kita patut mengajukan pertanyaan sederhana berikut. Apakah keinginan yang
ada di dalam diri kita itu baik untuk diwujudkan? Jangan-jangan, keinginan kita
itulah yang salah, sehingga ia tidak akan pernah menjadi kenyataan?
Mawas Diri
Dengan dua pertanyaan ini, kita lalu bisa melakukan refleksi
diri. Dan refleksi diri adalah inti utama dari mawas diri. Mawas diri berarti
kita mengawasi diri kita sendiri, terutama emosi dan pikiran-pikiran yang
muncul di dalam diri. Ketika kita marah, sedih, cemas, ataupun gembira, kita
lalu mengawasi perasaan-perasaan tersebut sebagai sesuatu yang sementara,
bahkan ilusi.
Emosi dan perasaan adalah hasil dari pengalaman-pengalaman
hidup kita sebelumnya. Kita belajar dan kemudian dikondisikan untuk merasa
marah, ketika dihina. Kita belajar dan kemudian dikondisikan untuk merasa
senang, ketika menang undian. Emosi maupun perasaan kita adalah bentukan sosial
yang sifatnya semu dan bahkan menipu.
Pikiran pun adalah hasil dari bentukan masa lalu kita. Kita
berpikir dengan pola tertentu, sebagaimana yang kita pelajari dan lakukan di
masa lalu. Ketika keadaan tidak sesuai keinginan, kita lalu dibentuk dan
dikondisikan untuk berpikir, bahwa ini adalah masalah. Pikiran dan emosi
menciptakan ketegangan di dalam diri manusia yang merupakan sumber dari segala
penderitaan batin manusia.
Kejernihan Batin
Ketika pikiran dan emosi kita sadari dan awasi sebagai
sebentuk ilusi yang semu dan menipu, kita lalu masuk ke dalam ketenangan batin.
Jadi, hasil dari sikap mawas diri adalah hancurnya semua ilusi dan
pengkondisian dari masa lalu kita. Ketika emosi dan pikiran hancur, maka kita
masuk ke “titik nol” kehidupan, yakni kebahagiaan batin. Di dalam kebahagiaan
batin itu, kita merasa bebas dan damai, sehingga mampu melihat segala sesuatu
dalam kejernihan.
Kejernihan di dalam melihat dunia akan melahirkan sikap-sikap
yang tepat. Kita tidak lagi bereaksi secara keras terhadap berbagai tantangan
dunia. Kita lalu menanggapi semuanya dengan sikap dan analisis yang tepat,
sesuai dengan keadaan dan kebutuhan yang ada. Kejernihan yang lahir dari
kebebasan serta kedamaian batin inilah yang menjadi inti utama dari
kebijaksanaan.
Di dalam kejernihan batin ini, kita lalu tidak lagi sibuk
ngotot mengubah orang lain atau dunia, supaya sejalan dengan keinginan kita.
Kita lalu menerima apa yang terjadi, lalu berusaha melakukan perbaikan, sesuai
dengan kebutuhan dan keadaan yang nyata. Kita tidak lagi sibuk dengan
prinsip-prinsip di kepala kita, yang kerap kali dibarengi dengan emosi keras
dan membuat batin gelisah. Kita lalu sibuk untuk mengawasi diri kita sendiri,
termasuk semua emosi, perasaan dan pikiran yang lewat di dalamnya sebagai
sebentuk pengkondisian yang sifatnya semu dan menipu.
Perjalanan mawas diri menuju kejernihan batin dan
kebijaksanaan hidup ini tentu harus dilalui. Ada yang bisa langsung memahami
dan menerapkannya dalam kehidupan. Ada yang perlu waktu lama untuk memahaminya
terlebih dahulu. Tidak ada rumus universal untuk hal ini.
Di dalam proses, tentu ada keberhasilan dan kegagalan. Kerap
kali, kita lalu kembali terjebak di dalam emosi dan pikiran kita yang lahir
dari pengalaman masa lalu dan pengkondisian kita. Kita pun kembali mengalami
konflik batin, dan lalu gelisah. Namun, semua ketegangan batin itu haruslah
tetap diawasi dan disadari sebagai ilusi. Kita tidak boleh hanyut ke dalamnya.
Di dalam Filsafat
Pemahaman tentang mawas diri ini tertanam begitu dalam di
dalam sejarah manusia. Di dalam Filsafat Jawa, kita menemukan konsep ini di
dalam pemikiran Ki Ageng Suryamentaram, pemikir Jawa di awal abad 20. Diri
manusia yang terkondisikan oleh pengalaman masa lalunya akan bertindak jahat
dan sewenang-wenang. Inilah yang disebutnya sebagai kramadangsa.
Kramadangsa ini sifatnya egois. Ia hanya memikirkan
kepentingannya sendiri. Jika keinginannya tak tercapai, ia lalu marah, sedih,
cemas atau justru merusak. Setiap orang, menurut Suryamentaram, memiliki
kramadangsa di dalam dirinya. Kramadangsa ini harus terus diawasi, supaya ia
tidak menguasai pikiran kita.
Di dalam filsafat Jerman, konsep mawas diri dikenal dengan
konsep kesadaran diri (Selbstbewusstsein). Tradisi Idealisme Jerman yang
berkembang pada abad 17 dan 18 di Eropa menjadikan konsep ini sebagai inti
utamanya. Immanuel Kant menyebutnya sebagai kesadaran diri transendental
(transzendentales Selbstbewusstsein), Fichte menyebutnya sebagai kesadaran diri
murni (reines Selbstbewusstsein), dan Hegel menyebutnya sebagai kesadaran diri
absolut (absolutes Selbstbewusstsein). Mereka berpusat pada metafisika dan
epistemologi, tidak pada etika.
Dengan ketiga konsep ini, filsafat Idealisme Jerman ingin
menegaskan, bahwa manusia bisa mengamati dirinya sendiri. “Aku murni” berbeda
dengan “aku empiris”. Kesadaran diri terletak di dalam “aku murni” yang mampu
mengamati “aku empiris”. Ini semua terjadi di dalam batin manusia. Kesadaran
diri adalah sikap mawas diri.
Filsafat Timur juga memiliki tradisi panjang tentang sikap
mawas diri ini. Di dalam tradisi Buddhisme, sikap mawas diri dilakukan dalam
bentuk meditasi. Dalam arti ini, meditasi adalah saat, dimana manusia menyadari
keterkondisian dirinya di dalam dunia ini, sebagai akibat dari pengalaman masa
lalunya. Menjadi Buddha berarti menjadi orang yang tercerahkan, yakni orang
yang telah berhasilkan menghancurkan secara total segala keterkondisiannya
sebagai manusia, lalu mencapai kedamaian, kebebasan serta pencerahan batin
sepenuhnya.
Di Berbagai Bidang
Sikap mawas diri haruslah menjadi budaya di Indonesia. Hanya
dengan begitu, kita bisa hidup sebagai bangsa yang adil, makmur dan damai. Para
politisi dan pemimpin bangsa lainnya tidak boleh hanya ngotot mengubah keadaan
sesuai dengan pikiran mereka, tetapi juga perlu untuk mengawasi dirinya
masing-masing. Jika tidak, mereka akan terjebak pada sikap rakus harta, korup,
menipu, manipulatif dan sombong. Negara yang dipimpin oleh orang-orang seperti
itu akan hancur dari dalam dirinya sendiri.
Di dalam bidang pendidikan, sikap mawas diri haruslah
diajarkan kepada semua murid sekolah. Namun, guru-gurunya terlebih dahulu harus
diajak untuk melatih diri dalam budaya mawas diri ini. Para guru dan murid
diajak untuk melihat dan menyadari dirinya sendiri, terutama emosi, perasaan
dan pikiran yang berkecamuk di dalam dirinya masing-masing. Semuanya itu harus
diawasi dan dilihat sebagai sesuatu yang semu, menipu dan menciptakan
ketegangan batin.
Namun, pendidikan sekarang ini terjadi tidak hanya di dalam
sekolah, tetapi juga di dalam masyarakat, terutama melalui media, seperti musik
dan film. Kita sering melihat film dengan artis yang menunjukkan emosinya,
ketika menanggapi suatu keadaan. Ini contoh salah yang harus ditanggapi secara
kritis. Menanggapi keadaan tidak boleh dengan emosi, seperti menangis atau
marah, seperti yang ditunjukkan dengan aktingnya yang brilian dari para artis,
melainkan dengan ketenangan batin dan kejernihan pikiran.
Lagu-lagu juga seringkali membingungkan kita. Lagu-lagu
cinta dan lagu-lagu galau mengumbar emosi, dan melihatnya sebagai sesuatu yang
nyata. Padahal, cinta bukanlah emosi, melainkan kedamaian dan kejernihan batin
dalam melihat keadaan. Lagu-lagu semacam ini membuat kita semakin dalam
terjebak dalam pengkondisian, dan akhirnya hidup di dalam ketegangan batin,
tanpa henti.
Budaya mawas diri juga harus dikembangkan di dalam dunia
bisnis. Para pelaku bisnis harus terus berusaha mengawasi dirinya sendiri,
terutama emosi dan pikiran-pikirannya yang kerap kali hanya bertujuan untuk
mendapatkan uang lebih banyak lagi. Untuk mencapai tujuan itu, tanpa sikap
mawas diri, mereka lalu menyuap pegawai pemerintahan, merusak politik dan ikut
menghancurkan lingkungan. Semua sikap jelek itu lahir dari diri yang tidak
disadari, yakni diri yang terkondisikan oleh pengalaman masa lalu dan nafsu
akan uang.
Di dalam bidang kesehatan, sikap mawas diri juga amatlah
penting. Banyak orang terjebak dalam kekecewaan mendalam, kesedihan besar,
depresi, stress dan berbagai masalah kejiwaan lainnya. Ini semua terjadi,
karena mereka terjebak di dalam pengkondisian dari pengalaman masa lalunya.
Mereka lalu melihat dunia tidak dengan kejernihan, tetapi dengan pengkondisian.
Akibatnya, mereka hidup terus dalam tegangan batin. Masa
lalu yang menyakitkan berkembang menjadi trauma masa kini yang terus menyiksa
batin. Trauma adalah pengkondisian. Depresi adalah pengkondisian. Semua itu
akan lenyap, ketika orang mengawasinya dan menyadarinya sebagai ilusi yang
dibangun dari pengkondisian dan pengalaman masa lalu.
Konsep mawas diri juga membantu orang di dalam menghadapi
sakit fisik. Sakit fisik akan jauh lebih ringan dan bisa disembuhkan, jika
tidak dibarengi dengan stress dan depresi, seperti yang biasanya terjadi pada
pasien penyakit akut. Konsep mawas diri dapat membantu meringankan beban batin,
ketika sakit fisik melanda. Ini amat membantu proses penyembuhan.
Orang beragama dan beriman juga harus memiliki sikap mawas
diri. Dengan sikap mawas diri, orang tidak secara buta menerapkan ajaran
agamanya, tanpa melihat keadaan sekitar. Ia juga tidak akan jatuh pada
fundamentalisme dan fanatisme yang menjadi akar dari berbagai kekerasan. Justru
ketika orang mencapai kesadaran diri dan sikap mawas diri sepenuhnya, ia
semakin dekat dengan Tuhannya, dan menjadi semakin penuh cinta terhadap
sesamanya.
Budaya Mawas Diri
Jika ingin mewujudkan masyarakat yang damai, adil dan
makmur, setiap warga negara Indonesia harus menerapkan sikap mawas diri di
dalam kehidupan sehari-harinya. Sikap ini harus berkembang menjadi budaya yang
dilakukan secara bersama-sama sebagai bagian dari revolusi mental. Tidak hanya
di Indonesia, seluruh bangsa di dunia ini pun harus menerapkan sikap mawas diri
dalam berbagai kebijakannya. Jika budaya mawas diri menjadi budaya global, maka
perdamaian dan kemakmuran dunia akan terwujud sepenuhnya.
Orang yang mawas diri itu seperti supir. Ia bisa berbicara
dengan penumpangnya, bercanda atau berdiskusi dengan mereka. Ia bisa menyanyi,
sambil mendengarkan radio. Namun, perhatiannya tetap di jalan. Ia mengawasi
seluruh proses berkendara. Ia tetap awas, walaupun sambil melakukan hal-hal
lainnya.
Orang yang mawas diri juga bisa terus bekerja secara aktif.
Ia bisa terlibat di dalam berbagai kegiatan. Ia bisa punya pacar, atau
berkeluarga. Namun, di dalam kesibukannya, ia tetap mengawasi dirinya sendiri,
terutama emosi dan pikiran-pikirannya sebagai sesuatu yang ilusif dan menipu.
Dengan cara ini, ia bisa mencapai kejernihan, kedamaian, kebebasan dan pencerahan
batin. Segala kesibukannya akan memiliki kemungkinan besar untuk berhasil.
sumber : https://rumahfilsafat.com