mencari cara dan cari tahu
Trauma dan Jiwa Manusia
Oleh Reza A.A Wattimena
Trauma psikologis adalah jenis kerusakan jiwa yang terjadi
sebagai akibat dari peristiwa traumatik. Ketika trauma yang mengarah pada
gangguan stres pasca trauma, kerusakan mungkin melibatkan perubahan fisik di
dalam otak dan kimia otak, yang mengubah respon seseorang terhadap stres masa
depan.
Masa lalu itu penting. Kita dibentuk oleh masa lalu kita.
Tentu saja, kita tetap punya kebebasan. Tetapi, kebebasan itu pun juga dibatasi
oleh masa lalu kita.
Salah satu bagian masa lalu yang amat penting untuk
disadari adalah tentang kehidupan orang tua kita. Sedari kecil, kita membangun
hubungan dengan orang tua kita. Mereka, tentu saja, bukan manusia sempurna,
tetapi memiliki segala bentuk kekurangan. Kekurangan itu pula yang membentuk
kita sebagai manusia, sekaligus cara kita berpikir, merasa, dan melihat dunia,
ketika kita dewasa, termasuk segala ketakutan dalam hidup kita.
Di dalam bukunya yang berjudul Trauma, Angst und Liebe:
Unterwegs zu gesunder Eigenständigkeit. Wie Aufstellungen dabei helfen (2013),
Franz Ruppert, Professor Psikologi sekaligus praktisi psikoloanalitik
(Psychoanalytiker) di München, berpendapat, bahwa orang tua juga bisa mewarisi
trauma yang mereka punya kepada anaknya. Jadi, orang tua tidak hanya mewariskan
ciri fisik, tetapi juga ciri psikologis kepada anaknya. Ciri psikologis itu
bisa berupa karakter diri, tetapi juga trauma.
Trauma lintas generasi
Trauma ditandai dengan kegelisahan batin. Orang tak bisa
merasa tenang, karena ia hidup penuh dengan ketakutan. Ia takut dengan masa
depan, dan berbagai ketidakpastian hidup lainnya. Ruppert mencoba memetakan
trauma manusia, terutama dalam kaitannya dengan hubungan orang dengan orang
tuanya.
Akar dari trauma adalah rusaknya hubungan antara manusia
(die Störung menschlicher Beziehungen). Dampaknya adalah ketidakbahagian hidup.
Orang sulit menjalankan tugas sehari-hari. Hidupnya terasa tanpa tujuan dan tanpa
makna.
Akar dari perasaan-perasaan ini adalah hubungan dengan
orang tua, terutama hubungan dengan ibu. Ibu yang memiliki trauma dalam dirinya
akan menularkan trauma itu ke anaknya. Inilah yang disebut sebagai trauma antar
generasi (mehrgenerationales Trauma). Trauma itu ditularkan melalui pola
hubungan antara ibu dan anaknya.
Kemungkinan besar, si ibu juga mewarisi trauma dari orang
tuanya, lalu ia meneruskannya ke anaknya di kemudian hari. Si anak, walaupun
masih muda, sudah merasa depresi dan tidak memiliki tujuan hidup. Ia masih
muda, tetapi sudah hidup layaknya orang yang mengalami begitu banyak kekerasan.
Dari pola ini, kemudian berkembang beragam bentuk gangguan psikologis lainnya,
mulai dari kecemasan, depresi bahkan sampai schizophrenia.
Namun, trauma ini bukanlah sesuatu yang mutlak. Manusia
bisa menyadarinya, kemudian melampauinya. Yang diperlukan adalah pengetahuan
mendalam tentang apa itu trauma. Pengetahuan yang setengah-setengah tidak akan
membantu, malah justru akan memperbesar trauma itu sendiri.
Jiwa Manusia
Trauma terjadi pada jiwa manusia. Ia bukan hanya luka
fisik, tetapi juga luka jiwa (psychische Störung) . Ketika badan sakit, ada
banyak kemungkinan penyebab. Salah satu yang paling sering ditemukan, menurut
Ruppert, adalah penyakit tubuh yang berakar pada trauma. Ini yang biasa disebut
sebagai psikosomatik, yakni penyakit tubuh yang akarnya pada situasi jiwa.
Di dalam filsafat dan psikoanalisis, jiwa adalah bagian
dari manusia yang memiliki fungsi-fungsi tertentu. Pertama, jiwa adalah pintu
manusia menuju kenyataan (Zugang zur Wirklichkeit). Tanpa jiwa, tubuh tidak
akan berarti apa-apa. Manusia tidak bisa terhubung dengan kenyataan di luar
dirinya.
Peran kedua jiwa adalah melakukan seleksi terhadap segala
bentuk pengetahuan yang masuk ke dalam kepala kita. Kenyataan itu amat rumit.
Sebagai manusia, kita tidak bisa menerima semua informasi yang ada. Disinilah
peran jiwa, yakni sebagai penyeleksi segala bentuk informasi yang masuk ke
kepala kita, sehingga bisa diolah.
Jiwa juga bukan sesuatu yang statik. Ia kreatif dan
fleksibel. Ia memungkinkan manusia melampaui masalah-masalahnya, dan juga
melampaui penderitaan-penderitaannya. Ia membuat manusia tidak menjadi budak
dari kenyataan.
Karena fleksibel dan kreatif, jiwa juga membantu manusia
untuk menjaga kelestarian dirinya. Ia mendorong manusia untuk jatuh cinta dan
berkembang biak. Pria dan wanita, menurut Ruppert, memiliki jenis jiwa yang
berbeda. Namun, keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni mengembangkan dan
menjaga keberlangsungan hidup manusia.
Jiwa memungkinkan manusia untuk memahami dunianya,
berpikir, mengingat dan membentuk kesadaran dirinya. Jiwa menyeleksi sekaligus
mengolah informasi yang kita tangkap dari dunia. Jiwa juga menuntun tindakan
kita sehari-hari. Jiwa adalah elemen utama dalam diri manusia yang memungkinkan
bagian-bagian biologisnya (organ tubuhnya) bergerak dan berkembang.
Trauma dan Jiwa
Manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Ketika orang mengalami
peristiwa yang traumatis, misalnya pengalaman kekerasan, maka hubungan antara
tubuh dan jiwanya akan rusak. Ketika ini terjadi, orang akan mengalami rasa
cemas, takut dan depresi yang membuatnya tak bisa merasakan kebahagiaan.
Pengalaman kekerasan ini muncul sebagai akibat dari rusaknya hubungan dengan
orang lain.
Banyak orang mengalami sakit berulang. Akarnya kerap bukan
melulu fisik, tetapi juga aspek jiwanya. Maka, obat fisik tidak akan cukup.
Trauma harus disadari, lalu coba untuk dilampaui.
Dalam arti ini, kesehatan manusia tidak pernah hanya
merupakan kesehatan tubuh semata, tetapi juga kesehatan jiwa. Tepatnya,
kesehatan adalah hubungan yang harmonis antara tubuh dan jiwa, karena orang
bisa melampaui trauma-trauma yang ia alami. Trauma tidak bisa dihindari, karena
hubungan dengan orang lain tidak bisa selalu baik. Namun, trauma bisa disadari
dan kemudian dilampaui.
Jiwa dan Otak
Jiwa manusia bukanlah sesuatu yang mengambang secara
metafisis, melainkan selalu terkait dengan sisi biologis manusia. Organ yang
paling erat hubungannya dengan jiwa adalah otak. Berpijak pada pelbagai penelitian
yang ada, Ruppert membagi tiga jenis otak manusia, atau tiga perkembangan otak
manusia. Yang pertama adalah otak reptil, atau das Reptiliengehirn yang
berfungsi secara dasariah untuk menjaga keberlangsungan diri manusia, misalnya
dengan menyerang musuh untuk mempertahankan diri, dan sifat instingtif.
Bagian kedua adalah otak mamalia, atau das Säugetiergehirn.
Fungsinya adalah untuk merasa dan mencintai. Bagian ini juga memungkinkan orang
untuk merasakan keterkaitan dengan satu kelompok, atau keluarga. Bagian ketiga
adalah die rechte Großhirnhälfte, atau bagian otak kanan. Bagian ini, menurut
Ruppert, memungkinkan manusia melakukan analisis sebab akibat atas berbagai
kejadian di dunia, juga merumuskan ide dan membentuk kesadaran akan jati
dirinya (ich-Bewusstsein).
Jiwa manusia memiliki tiga keadaan dasar, yakni keadaan
senang, penuh tekanan dan keadaan traumatik. Ketika orang merasa senang, dunia
seolah terbuka untuknya. Dia siap untuk merengkuh beragam kemungkinan yang ada.
Kecemasan jauh dari hidupnya.
Ketika orang merasa tertekan, dunianya seolah tertutup. Ia
selalu terjaga dan cemas. Ia tidak bisa tenang. Ia selalu waspada, andaikan
nasib buruk menimpanya.
Ketika orang merasa tertekan, ia menjalani hidupnya dengan
berat. Ia butuh banyak sekali energi untuk melakukan kegiatan sehari-hari.
Tertekan adalah dampak langsung dari trauma yang terpendam. Di dalam keadaan
ini, orang akan gampang lelah, walaupun hanya melakukan pekerjaan yang ringan.
Keadaan ketiga adalah keadaan trauma, yakni ketika orang
mengalami peristiwa yang amat menyakitkan dirinya. Jejak peristiwa itu masih
terasa, walaupun peristiwa itu sudah lama berlalu. Di dalam keadaan ini, orang
akan melihat dunia secara gelap. Kenyataan menjadi begitu menyakitkan, walaupun
ia hanya menjalani kegiatan sehari-hari yang biasa.
Ikatan dengan Ibu
Jiwa manusia berkembang dari sejak orang masih bayi. Faktor
penting pertama dari perkembangan jiwa adalah hubungan dengan ibu. Anak yang
baru lahir ke dunia melihat dirinya sama dengan ibunya. Ia merasa, bahwa
seluruh dunia adalah ibunya sendiri. Ini terjadi secara tidak sadar.
Dari ikatan dengan ibu ini (die Bindungsbeziehung), emosi
lalu mulai berkembang. Pengaruhi ibu amatlah besar pada anaknya. Secara pasif,
anak menerima pengaruh tersebut. Namun, secara aktif dan kreatif, anak berusaha
menggapi ibunya, guna memenuhi kebutuhan emosionalnya.
Dasar alamiah dari hubungan ibu dan anak adalah hubungan
cinta (Bindungsliebe). Jika hubungan cinta ini ada, maka anak akan berkembang
sebagai manusia yang sehat. Jika tidak, ia akan mengalami tekanan dan trauma
dalam hidupnya. Keadaan jiwa yang tertekan di dalam diri anak, yang terbawa
sampai dewasa, adalah dampak dari rusaknya hubungan dekat dengan ibu.
Ibu yang mengalami trauma biasanya juga bersikap tidak pas
pada anaknya. Ini menganggu hubungan cinta, yang seharusnya terjadi di antara
mereka. Trauma tersebut akhirnya menular ke anaknya. Ketika ini terjadi, dunia
anak tersebut akhirnya runtuh.
Ayah juga berperan besar. Supaya anak memiliki kemandirian,
ia juga harus memiliki jarak dengan ibunya. Ia butuh pengalihan, supaya ia
tidak terlalu terpaku pada ibunya. Disinilah peran ayah, menurut Ruppert.
Kebutuhan Jiwa
Jiwa yang sehat akan menghasilkan kepribadian yang sehat,
yang bahagia dan bebas. Hubungan dengan orang tua, terutama ibu, berperan amat
besar dalam hal ini. Untuk bisa menjadi pribadi yang sehat, orang harus
mendapatkan ini dari hubungannya dengan orang tua; perlindungan, kepastian,
cinta, merasa menjadi bagian dari sesuatu, dan kemandirian. Semuanya berakar
pada dua kebutuhan mendasar jiwa manusia, yakni kemandirian (Selbständigkeit)
dan hubungan dengan orang lain (menschliche Beziehungen).
Jadi, perkembangan jiwa manusia tergantung pada tegangan
antara kemandirian, dan hubungan dengan orang lain. Krisis jiwa manusia
terjadi, jika kebutuhan ini tidak terpenuhi. Jika ditelaah lebih dalam, menurut
Ruppert, kebutuhan akan hubungan dengan orang lain dapat dipetakan ke dalam
unsur-unsur berikut: mendapatkan asupan gizi (dengan orang tua), merasa hangat,
kontak fisik, dilihat, diperhatikan, dimengerti, didukung, menjadi bagian dan
diterima sebagai manusia.
Ketika ini tidak didapatkan, orang lalu hidup dalam
tekanan. Ketika ia menjalin hubungan dengan kekasihnya, ia berharap, kekasihnya
akan memenuhi kebutuhan ini. Akan tetapi, hubungan dengan kekasih berbeda
dengan hubungan antara ibu dan anak. Maka, kekecewaan berikutnya akan timbul,
karena pasangan tidak bisa memenuhi kebutuhan jiwanya.
Kebutuhan akan kemandirian (Selbständigkeitsbedürfnisse),
menurut Ruppert, dapat dipetakan sebagai berikut: persepsi mandiri, berpikir
mandiri, merasa sendiri, menjadi mandiri, menemukan kedamaian dalam diri,
membuat sesuatu sendiri, menjadi merdeka, merasa bebas dan membuat keputusan
sendiri. Sekali lagi haruslah ditekankan, bahwa peran ibu amatlah besar di
dalam memenuhi kebutuhan ini pada diri setiap orang di awal-awal masa hidupnya.
Kegagalan memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini juga bisa menciptakan trauma sendiri
bagi anak.
Trauma adalah bekas dari peristiwa yang mengancam jiwa.
Trauma itu meninggalkan rasa sakit, dan orang harus terus menekannya, supaya
orang bisa hidup. Ketika orang mengalami trauma, jiwanya terpecah. Dunia seolah
menjadi gelap, dan energi habis, karena orang harus terus menekan trauma yang
ia rasakan.
Bagian Jiwa Manusia
Pada titik yang parah, trauma membuat perasaan orang
membeku. Ia tidak bisa lagi merasa apapun. Orang lalu lari ke dalam pikirannya,
dan meninggalkan kenyataan yang ada. Ia menciptakan dunia sendiri di dalam
kepalanya, dan bahkan identitas dirinya terpecah.
Ketika mengalami trauma, menurut Ruppert, jiwa manusia
terpecah menjadi tiga. Bagian yang sehat tetap ada. Trauma tidak pernah total
menghancurkan jiwa manusia. Lalu, ada bagian yang berisi ilusi yang diciptakan
manusia untuk mempertahankan kesehatan jiwanya (Überleben), dan ada bagian yang
berisi trauma itu sendiri.
Trauma pertama yang mungkin dialami anak adalah dalam
hubungannya dengan ibunya. Seperti yang sudah ditulis sebelumnya, kerap kali
ibu juga mengalami trauma yang belum terselesaikan. Ketika ibu yang trauma
mengasuh anak, trauma tersebut akan mempengaruhi hubungannya dengan anaknya.
Akhirnya, anaknya pun akan mengalami trauma juga yang disebut Ruppert sebagai
trauma dalam hubungan (Bindungstrauma).
Ada tiga bentuk trauma yang mungkin dialami seorang ibu.
Yang pertama adalah trauma kekerasan, mungkin dari masa kecil atau masa
dewasanya. Yang kedua adalah trauma kehilangan, mungkin karena kehilangan
anggota keluarga tercinta. Yang ketiga adalah krisis jati diri yang kerap
muncul, ketika si ibu kehilangan pegangan nilai dalam hidupnya.
Di dalam trauma hubungan (Bindungstrauma), ada beberapa
ciri yang bisa diperhatikan. Yang pertama adalah keterputusan emosional, yakni
si ibu tidak mampu menjalin ikatan emosi dengan bayinya. Yang kedua adalah
tidak adanya rasa hormat terhadap keberadaan anaknya. Si ibu mengabaikan
anaknya, atau bahkan melakukan kekerasan langsung terhadap anaknya.
Yang ketiga adalah hubungan yang tidak ajeg. Suatu saat, ia
bisa begitu baik pada anaknya. Namun, pada saat lain, ia bisa berubah total
menjadi sosok yang penuh dengan kemarahan dan kebencian. Anak yang menjadi
korban trauma di masa lalu, biasanya karena korban kekerasan, cenderung akan
menjadi pelaku di masa datang.
Menuju Kebebasan dan Kemandirian
Anak yang sehat biasanya penuh dengan energi. Ia mampu
mencari kebutuhannya sendiri, misalnya dengan meminta secara aktif kepada orang
tua, atau berusaha mencari sendiri. Ia kreatif, terlihat bahagia, dan terbuka
pada segala bentuk pengetahuan tentang dunia.
Sebaliknya, anak yang penuh dengan trauma dan tekanan,
biasanya karena hubungan yang jelek dengan orang tuanya, kerap murung. Ia
merasa tak dicintai. Ia merasa diabaikan, kesepian, takut dan memiliki
kemarahan yang ditekan. Ketika ia dewasa, ia terus hidup dalam emosi negatif,
dan seolah tak berdaya, serta tak mampu menemukan jalan keluar dari
penderitaannya.
Untuk melawan trauma, biasanya orang membangun ilusi di
dalam kepalanya. Hubungannya yang jelek dengan orang tuanya dilupakan, lalu ia
bisa membangun gambaran baru yang sama sekali lain dari kenyataan yang ada. Ia
menipu dirinya, supaya bisa tetap hidup. Ia bahkan bisa memuja ibunya yang di
masa lalu kerap melakukan kekerasan terhadap dirinya.
Namun, ilusi semacam itu butuh amat banyak energi. Pada
titik yang parah, orang tidak lagi mengenal dirinya sendiri. Ia merasa terasing
dengan dirinya sendiri. Hidupnya seolah tanpa makna dan tujuan. Ini terjadi,
karena ia mewarisi trauma dari orang tuanya. Dampaknya beragam, yakni kecemasan
akut, depresi dan kecanduan pada narkotika.
Lalu, bagaimana cara kita melampaui trauma? Ruppert
menegaskan, bahwa trauma tidak pernah mutlak. Bagian diri yang sehat selalu
ada. Maka, terapi trauma (Traumatherapie) adalah upaya untuk memperkuat
sekaligus memperbesar sisi sehat tersebut. Ketika sisi sehat menguat, maka sisi
traumatis otomatis akan mengecil, walaupun tidak akan pernah hilang.
Ilusi yang kita bangun untuk bertahan hidup melawan trauma
juga perlu dilampaui, kata Ruppert. Ilusi itu tidak membantu, karena hanya
menghabiskan energi kita. Energi tersebut seharusnya diarahkan untuk
mengembangkan sisi sehat yang masih ada. Jika sisi sehat dalam diri kita ini
berkembang, maka kita akan merasakan kebebasan dan kemandirian dalam hati.
Itulah kebahagiaan yang sesungguhnya.