mencari cara dan cari tahu
Oleh: Dr. Muhammad Sarbini, M.H.I
Hari esok adalah hari yang berada di depan perjalanan hidup
seseorang. Hari esok terkadang menjanjikan kebahagiaan dan harapan atau malah
mengancam dengan ketakutan dan duka cita nestapa. Hari esok bagi seorang muslim
bukan sekedar hidup masa depan di dunia, tetapi juga hidup masa depan di
akhirat kelak.
Salah satu bisikan pada diri kita yang menakut-nakuti kita
adalah bisikan-bisikan pada hati kita tentang ketakutan akan kefakiran dan
kemiskinan. Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman dalam al-Qur`an:
“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan
dan menyuruh kalian berbuat kejahatan (kikir); sedang Alloh menjadikan untukmu
ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Alloh Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengatahui.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 268)
Pada diri kita akan muncul pertanyaan-pertanyaan seperti
berikut ini:
Bagaimana kehidupan saya di esok hari ?
Bagaimana bila setelah lulus aku tidak dapat kerja?
Bagaimana jika aku sakit, sedangkan aku tidak punya uang
untuk berobat?
Bagaimana kalau nanti aku tua kemudian lemah dan tidak mampu
bekerja.
Ketika muda, kita selalu dibayangi dengan kemiskinan di
waktu dewasa. Ketika dewasa, kita terus dibayangi kesengsaraan di waktu tua.
Dan ketika tua masih juga dirisaukan oleh pikiran bagaimana dengan nasib anak
cucu saya nanti ?
Saat sebelum bekerja, kita takut dengan nasib kita ke depan.
Dan sesudah dapat kerja, kita pun terus was-was kalau-kalau kena PHK. Begitulah
bermacam bentuk kecemasan dan kekhawatiran menghadapi masa depan terus
menggelayuti pikiran kita.
Pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana nanti, seandainya
begini atau begitu, jikalau nanti…? Sesungguhnya adalah pekerjaan setan agar
kita menjadi resah, gelisah, sedih, takut dan cemas, yang pada gilirannya
tujuan yang diinginkan setan adalah supaya hati kita terpaut pada dunia,
bergantung pada materi dan ujungnya kita rela menghalalkan segala cara untuk
menggapai apa saja yang kita inginkan.
Bukankah karena alasan takut lapar, saudara kita bersedia
menghalalkan segala cara mulai dari membunuh hanya karena persoalan uang
seratus rupiah sampai dengan berani memalsu kwitansi atau menerima komisi tak
sah jutaan rupiah ? Bukankah karena rasa takut akan kehilangan jabatan, membuat
sebagian saudara kita pergi ke “orang pintar” agar bertahan pada posisinya atau
supaya meningkat ke “kursi yang lebih empuk”? Bukankah karena takut akan
kehabisan harta, sebagian kita jadi enggan mengeluarkan zakat dan sedekah?
Mereka itu sebenarnya adalah korban pemiskinan yang dibuat
oleh setan. Setan telah berhasil mengelabui mereka dengan menghunjamkan rasa
takut dan khawatir di pikiran mereka, sehingga
mereka selalu merasa cemas dan takut dengan masa depan yang hendak dilaluinya. Mereka takut miskin,
takut sengsara dan takut hidup menderita.
Untuk itu Alloh ta’ala mengajarkan bahwa tataplah masa depan
dengan tawakal. Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:
“.. dan bertakwalah
kepada Alloh, dan hanya kepada Alloh sajalah orang-orang mu`min itu harus
bertawakal”. (QS. Al-Maidah [5]: 11)
Dan di firman lainnya:
“… dan Barangsiapa yang bertawakal kepada Alloh niscaya
Alloh akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Alloh melaksanakan urusan
yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Alloh telah Mengadakan ketentuan bagi
tiap-tiap sesuatu“. (Qs. At-Tholaq [65]:3)
Tawakal merupakan pekerjaan ruhani atau qolbu. Menurut
al-Qur`an, perintah tawakal ditujukan kepada jiwa atau qolbu manusia.Segala
perintah Alloh diorientasikan kepada jiwa dengan tujuan mendidik, dan
memperbaiki kualitasnya. Jiwa yang semakin berkualitas akan menampilkan
perilaku lahiriah yang semakin berkualitas pula. Tindakan lahir sangat
bergantung pada kerja batin atau jiwanya.
Kata tawakal berasal dari tawakkala-yatawakkalu-tawakkulan,
yakni tawakkul. Sebutan yang benar seharusnya tawakkul, bukannya tawakal. Akan
tetapi, bangsa Indonesia tampaknya lebih familiar dengan kata tawakal. Tempat
kita bertawakal yang diajarkan Islam adalah al-Wakil yaitu Alloh azza wa jalla.
Tidak ada sesuatupun selain Dia yang pantas dijadikan tempat menyandarkan
segala urusan, menyangkut segala aspek kehidupan manusia.
Sikap tawakal membuahkan keberuntungan duniawi dan ukhrowi,
itu pasti. Seseorang yang dicintai Alloh, akan beruntung dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, jangan salah mempraktekkan tawakal. Rosululloh sholallohu
alaihi wasallam memberi contoh praktek tawakal, laksana tawakalnya
burung-burung yang berterbangan secara dinamis mencari rezekinya, ke
tempat-tempat yang jauh dari tempat tidurnya.
Sebuah riwayat dari Umar bin Khothob rodhiallohu anhu
menyebutkan secara marfu’,
“Sekiranya kalian bertawakal kepada Alloh dengan
sebenar-benarnya tawakal, niscaya Dia akan melimpahkan rezeki kepada kalian
sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung, yang pergi pada pagi hari
dalam keadaan perut kosong dan kembali pada sore hari dalam keadaan kenyang.”
(HR. Tirmidzi)
Jadi, orang yang berjiwa tawakal, bukan orang yang serba
menunggu dengan pasif, tetapi berjiwa aktif dan dinamis, seperti aktif dan
dinamisnya burung-burung dalam mencari rezeki. Burung-burung patut dijadikan
contoh yang nyata, dalam hal bertawakal, utamanya dalam usaha mencari rezeki
dari Alloh. Wallohu ta’ala a’lam…
No comments:
Post a Comment