Tuesday, July 12, 2016

humanisme kopi

fenomena warung kopi yang bayak bermunculan menjadi sebuah wahana sejarah baru yang akan selalu direkonstruksi, tidak hanya tingkat orientasi transaksionistisnya, pola estetis dan gaya yang khas, tetapi kini fungsinya semakin mendapatkan legitimasi di hati publik. Selain terjangkau harganya, nilai estetis warung kopi juga menjadi hiburan yang tak tergantikan dari kehidupan masyarakat. Baik di daerah Aceh, Yogyakarta, Gorontalo bahkan di Tulungagung yang terkenal dengan kopi Ijonya.
Bentuk center of community yang terkandung dalam fenomena ini, secara disadari ataupun tidak, warung kopi menjadi tanda yang mengukuhkan identitas baru masyarakat, melalui bertemunya beragam orang, lembaga, status sosial dan bahkan identitas yang multikultur. Dalam pandangan yang lebih luas, warung kopi juga bagian dari subkultur yang mempertemukan berbagai budaya dan identitas baru. Tetapi ngopi juga bukan sekadar soal keakraban, didalamnya kerap terjadi pertukaran informasi dan wacana, pengembangan wawasan, Sering terjadi kesepakatan kerjasama mulai dari janji lanjutan hingga tanda tangan kontrak.
Warkop: sebuah Life Style?
Pada era sekarang ini ngopi tidak lagi merupakan aktivitas mengisi waktu luang atau sekedar menghilangkan kepenatan. Namun perkembangannya ngopi menjadi sebuah gaya hidup. Komunitas lifestyle ini telah melahirkan sebuah subkultur baru, komunitas warung kopi. Tetapi dalam beberapa hal, warung kopi juga didirikan dengan latar belakang komunitas. Lebih jauh lagi, komunitas warung kopi ini, membentuk kultur dan aktualisasi komunitas dalam berbagai sektor kehidupan, misalnya ekonomi dan sosial.
Bagi sebagian pecinta kopi, menikmati secangkir kopi mungkin hal yang biasa dilakukan di waktu senggang dan bisa dilakukan dimanapun. Namun bagi kalangan tertentu menikmati kopi bukan hanya bagaimana merasakan sensasi manis dan pahit, tetapi bagaimana muatan yang menyertai aktifitas itulah yang akan berdampak lebih luas. Misalnya para eksekutif muda akan menikmati secangkir kopi dengan menjalankan aktifitas dengan relasi bisnisnya. Begitu juga dengan mahasiswa, menikmati secangkir kopi hanya bermakna jika dilakukan di warung kopi yang diselingi dengan diskusi kecil.
Penikmat kopi juga beragam, mulai dari pemulung hingga para pejabat teras. Tidak ada sekat dalam hal siapa peminat kopi. Ini membuktikan bahwa warung kopi mempunyai potensi kultural yang dapat menggiring masyarakat ke arah pembauraan sosial. Ini tidak lepas dari salah satu manfaat warung kopi yaitu sebagai tempat menemukan ide dan gagasan. Bahkan, bagi para penikmat kopi, warung kopi adalah sumber informasi dan inspirasi.
Bagi pecinta kopi, menikmati kopi dengan racikan sendiri di rumah atau di tempat kerja akan terasa berbeda ketika mereka menikmati kopi di warung kopi. Entah karena racikannya atau suasananya, kita tidak tau. Tetapi kemungkinan, faktor fenomena ini adalah bagaimana situasi dan kondisi dalam menikmati kopi mempengaruhi rasa dalam ngopi itu sendiri. Dan yang aneh lagi adalah masing-masing warung kopi memiliki kekhasan rasa tersendiri yang tidak bisa ditemukan di tempat lain.
Berangkat dari realitas itulah, kebiasaan Ngopi bagi masyarakat Indonesia bukanlah menjadi sebuah realitas yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Akan tetapi, lebih dari itu ngopi menjadi sebuah life style masyarakat. Kebiasaan masyarakat yang seiring waktu telah berubah menjadi kebutuhan masyarakat inilah yang nantinya bisa menjadi sebuah subkultur tersendiri di masyarakat Indonesia.
Warung Kopi dan Revitalisasi budaya Komunal
Ngobrol apa kita hari ini? Topik apa yang kita mau bicarakan? Tak ada  yang tahu. Semua membisu. Semua tenggelam dalam pikirannya masing-masing, dengan topiknya sendiri-sendiri. Betapa dunia begitu merepotkan. Mengambil porsi waktu, tenaga, pikiran, juga biaya tidak kecil,di tengah kebutuhan yang semakin menekan. Tapi, semua tak bisa kita elakkan. Ia muncul sebagai paksaan yang tak tertolakkan.
Tak ada tempat lagi untuk privasi, untuk masalah pribadi, untuk sharing antar dunia domestik. Kekerabatan mengendur. Diri dan eksistensi ditentukan oleh hal di luar kita. Kita adalah makhluk yang ada karena peristiwa-peristiwa yang kadang bukan kita. Bagaimana ini bisa terjadi? Tentu saja, segera kita dapat mafhum, kenyataan itu menjadi salah satu buah dari globalisasi, khususnya dalam kemampuan penetrasi isu via teknologi komunikasi dan informasi. Pada awalnya, kekuatan dan potensi teknologi mediatik itu menawarkan harapan yang menggiurkan, saat kita beranggapan dunia kini ada dalam genggaman. Hingga pada akhirnya kita menyadari, dunia ternyata tidak cukup digenggam dengan dua tangan, bahkan dua pikiran, dua tubuh, atau dua perasaan. Dunia telah masuk begitu cepat dan kuat dalam ruang pribadi kita.
Dalam satu hari, bahkan dalam satu ketika (moment) kita hidup dalam ratusan persoalan yang menyesaki pikiran dan hati. Tak sempat lagi untuk merenungkan atau menghayatinya. Dalam situasi dan posisi seperti ini, sebenarnya manusia senantiasa dalam keadaan yang gamang dan labil. Semua terasa kritis dan emergensial. Inilah situasi kejiwaan yang tidak menyadari posisi dan dirinya sendiri, mudah diinfiltrasi dan diintervensi di tingkat personal, komunal, bahkan nasional.
Di Korea Selatan terjadi sebuah depresi besar-besaran pada masyarakat digital. Ini berawal dari sebuah gerakan massa di dunia maya yang memperjuangkan sesuatu. Begitu banyak orang yang berharap pada gerakan massal dunia maya itu namun ketika ternyata gerakan tersebut tidak menemui hasil yang memuaskan banyak penduduk dunia maya Korea Selatan yang kemudian merasakan kekecewaan mendalam, depresi bahkan beberapa di antaranya ada yang hingga bunuh diri. Sebuah kondisi yang memprihatinkan.
Dalam konteks tertentu saya melihat kalau faktor akar budayalah yang menyebabkan hal itu bisa terjadi. Kondisi yang sama rasanya sulit terjadi di Indonesia, negeri dimana sifat komunal masih jadi bagian utama dalam kehidupan keseharian. Orang Indonesia boleh ramai di dunia maya, memperbincangkan apa saja, berbagi apa saja, tapi tetap saja itu tidak cukup. Interaksi dunia maya harus dilengkapi dengan sesuatu dimana terdapat sebuah ajang dimana interaksi sosial yang nyata bisa dinikmati.
Inilah desa global yang diutarakan Marshall McLuhan, kecenderungan yang pesat dari media cetak, hingga media elektronik berkembang menyatukan budaya-budaya dunia. Tidak hanya masyarakat berkomunal yang merasakan Spanyol menjadi juara dunia, tidak hanya masyarakat indonesia yang terlena dengan irama chayya-chayya ala Briptu Norman. Apakah masih ada nuansa komunal ke-Indonesia-an yang tersisa, ketika kita menjadi bagian dari desa global.
Disinilah keunikan yang masih tersisa ketika berbicara Indonesia, yang di beberapa daerah terdapat warung kopi dan tradisinya. Masih ada semangat kekerabatan dan kekeluargaan yang dapat menjadi filter dari kuatnya arus globalisasi. Seperti halnya masyarakat lain di dunia, masyarakat Tulungagung juga mempertahankan sistem kehidupan Guyub rukun.
Terkait dengan revitalisasi budaya komunal, warung kopi dalam hemat penulis menjadi sebuah wadah tersendiri di luar pranata-pranata social lainnya dimana dari warung kopi itulah tercipta komunikasi yang masiv diantara masyarakat. Kemajuan teknologi yang telah memangkas ruang dan waktu di sisi lain juga memangkas pula budaya komunal di masyarakat. Oleh sebab itu. Keberadaan warung kopi seharusnya menjadi sebuah posisi tersendiri guna melawan terjangan arus Globalisasi.
Warung Kopi dan Ruang Publik
Istilah ruang publik (public space) pernah dilontarkan Lynch dengan menyebutkan bahwa ruang publik adalah nodes dan landmark yang menjadi alat navigasi didalam kota (Lynch, 1960). Gagasan tentang ruang publik kemudian berkembang secara khusus seiring dengan munculnya kekuatan civil society. Dalam hal ini filsuf Jerman, Jurgen Habermas, dipandang sebagai penggagas munculnya ide ruang publik (Sulfikar, 2010). Jurgen Habermas memperkenalkan gagasan ruang publik pertama kali melalui bukunya yang berjudul The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquire Into a Category of Bourjuis Society yang diterbitkan sekitar tahun 1989. 
Ruang publik diartikan sebagai ruang bagi diskusi kritis yang terbuka bagi semua orang. Pada ruang publik ini, warga privat (private person) berkumpul untuk membentuk sebuah publik dimana nalar publik ini akan diarahkan untuk mengawasi kekuasaan pemerintah dan kekuasaan negara. Ruang publik mengasumsikan adanya kebebasan berbicara dan berkumpul, pers bebas, dan hak secara bebas berpartisipasi dalam perdebatan politik dan pengambilan keputusan. Lebih lanjut, ruang publik dalam hal ini terdiri dari media informasi seperti surat kabar dan jurnal. Disamping itu, juga termasuk dalam ruang publik adalah tempat minum dan warung kopi, balai pertemuan, serta ruang publik lain dimana diskusi sosio-politik berlangsung.
Ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis, dan bermakna. Responsif dalam arti ruang publik adalah ruang yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Demokratis, artinya ruang publik dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia. Bermakna memiliki arti kalau ruang publik harus memiliki tautan antara manusia, ruang, dan dunia luas dengan konteks sosial.
Pastinya, animo pengunjung warung kopi tidak mutlak disebabkan oleh rasa dan aroma kopi yang disajikan, tetapi lebih kepada keinginan untuk berinteraksi. Buktinya, sebagian besar warung kopi yang ada di Aceh, Gorontalo, Yogyakarta bahkan di Tulungagung hanya menyediakan minuman kopi berbahan baku kopi robusta.  Padahal, bagi para “penikmat”kopi sejati, mereka pasti akan mencari warung kopi atau cafe yang menyediakan kopi arabica, karena aroma yang tajam dan rasanya yang “nendang.”
Fenomena ini makin mempertegas makna ngopi dalam tradisi masyarakat di Indonesia. Aktivitas minum kopi adalah media interaksi antar masyarakat dari berbagai stratifikasi sosial. Fungsi warung kopi mulai bergeser, dari tempat minum menjadi ranah publik milik semua elemen masyarakat baik sebagai tempat melepas lelah, tempat bercengkrama bahkan termasuk sebagai ruang hiburan. Secangkir kopi menjadi semacam e-mail dan password untuk izin menikmati suasana dan aktifitas orang di warung kopi itu.
Ibarat akun “jejaring sosial” twitter, warung kopi membolehkan siapapun mem-follow (bergabung) orang yang menjadi idola dan narasumbernya. Siapapun, apalagi jika sudah kenal, boleh nimbrung mendengar dan mengomentari pembicaraan si narasumber selama cangkirnya masih berisi kopi. Siapapun tidak dilarang untuk membayar harga kopi orang yang di-follow atau mem-follownya.
Warung kopi pada akhirnya menjadi ruang publik multifungsi. Tempat minum kopi yang sejatinya berfungsi sebagai rumah aspirasi. Berbagai rumor, fakta dan data bergulir dari sana, bagai bola salju, menggelinding menjadi konsumsi publik. Di tempat ini pula rumor, fakta dan data itu, pada akhirnya kembali dalam bentuk feedback disertai komentar miring. Feedback berharga itu sangat memungkinkan diserap menjadi bahan dasar untuk menyusun sebuah kebijakan publik.




No comments:

Post a Comment

Featured Post

senyuman adalah awal dari kasih sayang, maka tersenyumlah!

Senyum Awal Dari Kasih Sayang Sejatinya senyum adalah jendela hati. Dari senyuman kita bisa mengetahui suasana dan isi hati seseorang. ...

Wikipedia

Search results