Biadap, dan kata-kata hujatan lainnya pasti keluar dari mulut siapapun yang mengikuti kisah Yuyun, gadis 14 tahun yang digagahi hingga tewas oleh 12 orang pemuda mabuk, termasuk yang masih di bawah umur, di desanya, Padang Ulak Tanding (PUT), Rejang Lebong, Bengkulu. Lalu diperparah dengan banyaknya kasus serupa yang timbul di beberapa wilayah. Tragedi tersebut seolah menyadarkan khalayak bahwa masih ada yang salah dengan mental remaja Indonesia. Kemana orang dewasanya? Apa saja yang orang mereka lakukan hingga itu bisa terjadi? Ada apa dengan tempat tersebut? Apakah mereka sehat? Adalah sebuah keluarga bermental sehat yang dibutuhkan untuk membangun kesehatan mental remaja. Bagaimana caranya? Dengan menjalankan fungsi keluarga secara utuh disertai nilai-nilai agama. Anggota keluarga adalah mitra yang harus saling mendukung secara positif. Selain memberikan kasih sayang, orang tua juga merupakan teladan bagi anak-anaknya. Merekalah guru pertama yang ditiru seorang anak. Pola asuh yang diterapkan ayah dan ibu akan membentuk karakter keturunannya. Apakah orang tua bekerja sendiri? Ada sebuah kalimat bijak dari Afrika, "It takes a village to raise a child." Diperlukan pemerintah dan masyarakat untuk membantu keluarga menciptakan remaja yang sehat jasmani dan rohani. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, serta norma-norma yang berlaku di masyarakat harus diperkenalkan kepada anak-anak, seiring dengan bertambahnya usia. Ini akan menjadi bekal untuk bergaul dan menyaring apa yang terjadi di sekeliling mereka. Seorang anak akan mampu mendeteksi mana yang baik dan mana yang buruk bagi masa depannya. Jadi, dibutuhkan semua pihak untuk mengedukasi anak di bawah umur. Salah satu subjek yang sering diabaikan oleh para orang tua, sekaligus merupakan kodrat dasar manusia, adalah pendidikan reproduksi, termasuk di dalamnya aktifitas seksual. Akibatnya, pengetahuan tersebut didapatkan oleh anak-anak yang telah menginjak akil balig melalui sumber yang diragukan kebenarannya, seperti video porno, majalah dewasa, bahkan dari pengaruh orang dewasa yang tidak bertanggung jawab. Apalagi di era lini massa seperti saat ini, akses pornografi sangat mudah didapatkan. Oleh sebab itu, dibutuhkan dukungan semua pihak untuk membentuk kepribadian remaja Indonesia, yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas kesehatan repreduksi mereka. Tidak ada yang salah dengan pelajaran biologi yang memperkenalkan organ intim manusia kepada anak fase remaja. Apabila hal tersebut disampaikan dengan bahasa ilmiah yang mudah dicerna, disertai penjelasan mengenai dampaknya bila melakukan perbuatan yang belum saatnya, lalu ditambah dengan video atau gambar dari sumber terpercaya, pasti akan melekat di otak mereka. Untuk itu, orang dewasa juga harus pandai memilah kalimat yang baik saat berbincang dengan anak usia sekolah. Mereka harus didorong untuk aktif menggali potensi diri dan mengukir prestasi. Merespon, sekaligus mencegah prahara yang sama terulang, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menggandeng Kompasiana untuk mengadakan Kompasiana Nangkring Bersama BKKBN di Grage Hotel Bengkulu pada 25 Juni 2016. Acara nangkring sore sambil menanti bedug magrib ini mengangkat tema "Membangun Kualitas Kesehatan Reproduksi dan Mental Remaja Indonesia". Event tersebut dihadiri oleh Kompasianer Bengkulu yang relatif masih muda-muda, baik single maupun para mama dan papa muda, serta Genre, salah satu komunitas anak muda Bengkulu. Mereka yang merupakan generasi melek teknologi ini diharapkan mampu menjadi penyebar berita baik yang terpercaya bagi generasinya. img-6896-jpg-577e302b159373320e8d4e87.jp Acara dibuka oleh sambutan Ibu Mariana dari BKKBN Provinsi Bengkulu. Beliau mengungkapkan fakta mengejutkan bahwa Bengkulu berada di peringkat 6 untuk jumlah pernikahan dini di Indonesia. Narasumbernya, Dr. Hadiwinarto dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bengkulu, dan Pak Abidinsyah Siregar dari BKKBN pusat. Sebagai moderator, Wida dari Kompasiana. Tema acara yang terkesan serius sore itu, berjalan menarik, informatif, dan membuka pikiran tentang bagaimana membesarkan anak di era teknologi dan informasi saat ini. Peserta yang rata-rata adalah kompasianer pun fokus menyimak jalannya diskusi, lebih-lebih karena ada lomba live-tweet berhadiah Rp200.000. Siapa yang tak tergoda. img-6903-jpg-577e3078da937363094e964f.jp Kedua pembicara berulang-ulang menekankan bahwa betapa krusialnya peran orang tua dan pendidikan agama dalam membesarkan anak di era modern ini. Tidak hanya kebutuhan fisik, kebutuhan psikologis anak juga harus tercukupi. Pertambahan jumlah penduduk yang tidak diikuti oleh peningkatan jumlah kebutuhan pokok manusia, bisa mempengaruhi kejiwaan seseorang. Ditambah desakan ekonomi keluarga, menyebabkan orang tua tidak memiliki waktu untuk anak-anaknya. "Inilah salah satu alasan mengapa jarak dan jumlah anak harus dibatasi." ungkap Pak Abidinsyah. Jika anak tidak terbiasa memiliki kegiatan positif dan jauh dari pengawasan orang tua, maka tidak heran bila mereka mencari kesibukan sendiri. Apabila tidak dilengkapi dengan pengetahuan dan kontrol diri, sehingga tidak mengetahui mana yang pantas dan tidak bagi mereka, maka bukan tidak mungkin seorang anak terjerumus ke dalam perangkap lingkungan negatif yang berisiko membahayakan diri sendiri dan juga orang lain. Sekali lagi. Di era digital ini. Keluarga adalah kunci kesehatan mental para remaja.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/relindapuspita/keluarga-kunci-kesehatan-mental-remaja-indonesia_577e3259da93731a0a4e963b
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/relindapuspita/keluarga-kunci-kesehatan-mental-remaja-indonesia_577e3259da93731a0a4e963b
No comments:
Post a Comment